Wednesday, September 7, 2011

Doa Untuk Anak Ketika Masih Berupa Nuthfah

Sewaktu Abu Thalhah RA keluar dari  rumahnya, anaknya yang sedang sakit keras menghembuskan nafas terakhirnya. Akan tetapi, istrinya, Ummu Sulaim, tidak mengabarinya saat ia pulang ke rumah dan tidak pula memperlihatkan kepadanya penampilan orang yang bersedih. Ia justru melakukan sebaliknya; dia merias dirinya dan mempersiapkan makan malam untuk suaminya. Abu Thalhah yang sudah lapar pun langsung menyantap hidangan makan malamnya. Sesudah itu saat melihat istrinya telah bersolek, bangkitlah birahinya dan langsung menyetubuhi istrinya. Setelah semuanya itu berlangsung, barulah Ummu Sulaim menceritakan kepadanya dengan cara yang bijak lagi cerdas bahwa anaknya telah meninggal dunia. Pagi harinya Abu Thalhah menemui Rasulullah SAW dan menceritakan kepadanya semua yang terjadi antara dirinya dan istrinya Rasulullah SAW pun mendo’akan keberkatan bagi keduanya dalam persetubuhannya malam itu. Untuk itu beliau SAW bersabda :
Semoga Allah memberkati malam hari yang telah kalian berdua jalani.”
Selang beberapa masa kemudian lahirlah seorang bayi yang diberi nama ‘Abdullah oleh Nabi SAW dan berkat doa Nabi SAW setelah anak itu dewasa dan telah menikah, Allah memberinya Sembilan orang anak yang hafal Al Qur’an. Kisah ini seluruhnya ada dalam kitab Shahih Bukhari.
Diantara fenomena yang menunjukkan perhatian Islam kepada anak semasa masih berupa nuthfah di dalam rahim ibunya ialah nafkah yang diperintahkan oleh Islam untuk sang ibu yang telah di talaq tiga, sedang ia dalam keadaan hamil. Nafkah ini sebenarnya adalah untuk bayi yang ada dalam kandungannya, bukan untuk untuk ibunya karena hak nafkah baginya otomatis telah gugur dengan talaq tiga yang dijatuhkan oleh sang suami kepada dirinya.
Seorang wanita yang diceraikan oleh suaminya sebanyak tiga kali, berarti harus berpisah denganya dan menjadi wanita lain, tanpa punya hak untuk menerima nafkah atau jaminan tempat tinggal darinya. Demikianlah menurut pendapat yang diunggulkan di kalangan ulama fiqih, terkecuali jika wanita yang bersangkutan dalam keadaan hamil, maka menurut kesepakatan semua ulama ia masih berhak mendapat nafkah dari suaminya. (Al Mughni karya tulis Ibnu Qudamah Juz 8 / 232) sehubungan dengan hal ini Allah SWT telah menyebutkan dalam Firman-Nya:
Dan jika mereka (istri-istri yang sudah di talaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka itu nafkahnya hingga mereka bersalin.” (QS. Ath Thalaaq : 6)
Tidaklah sekali-kali kewajiban member nafkah masih dibebankan atas pihak suami terhadap wanita mengandung yang telah di talaq ba-in olehnya, melainkan hanyalah karena demi bayi yang tiada jalan untuk member nafkah kepadanya, kecuali dengan memberi nafkah kepada ibunya, karena sang bayi hanya bisa menyerap makanan dari ibunya. Sehubungan dengan hal ini, Ibnu Qudamah telah mengatakan bahwa karena bayi yang di kandungadalah anak dari lelaki yang telah menceraikannya, maka sudah menjadi kewajiban bagi mantan suami atau ayah bayi yang dikandungnya untuk member nafkah kepadanya. Demikian juga karena pemberian nafkah kepada sang bayi tidak mungkin dilakukan secara langsung kecuali melalui ibunya, maka member nafkah kepada ibunya adalah hal yang wajib sama halnya dengan upah menyusui. (Al Mughni dan Al-Jami’lii Ahkamil Qur’an Juz 18, Hlmn. 166 – 167). Demikianlah perhatian Islam yang begiu besar kepada anak ditinjau dari segi kewajiban member nafkah kepadanya.
Di antara perhatian Islam yang besar kepada bayi ialah menjaganya dari hal-hal yang dapat membahayakan kesehatannya semasa ia berada dalam rahim ibunya. Oleh karena itulah, diperbolehkan bagi ibu yang sedang hamil, bila merasa khawatir dengan kesehatan janinnya, untuk berbuka dalam bulan Ramadhan; perihal sama dengan orang yang sakit dan orang yang sedang musafir. Bahkan sebagian ulaa ada yang membebaskannya dari kifarat, tetapi tidak untuk wanita yang menyusui. Para ulama mengatakan bahwa demikian itu karena kedudukan janin sama halnya dengan bagian dari tubuh wanita yang mengandungnya dan kekhawatiran terhadap keselamatan sebagian dari anggota tubuh wanita yang bersangkutan. Berbeda halnya dengan kasus wanita yang menyusui jika tidak dapat menyusui bayinya, karena bisa saja ia mengupah wanita lainuntuk menyusui anaknya. (Al Mughni karya Ibnu Qudamah 3 / 149, 150) Para Ulama mengkategorikan kasus wanita menyusui ini ke dalam masalah yang disebutkan oleh firman-Nya :
Dan Wajib bagi orang-orang yang berat menjalankanya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) member makan seorang orang miskin.” (Al Baqarah : 184)
Perhatian lainnya yang sangat besar dari Islam kepada bayi yang masih ada dalam kandungan ibunya ialah ditangguhkannya hukuman yang berhak diterima oleh sang ibu, jika hukumannya tersebut dapat mempengaruhi bayi yang ada dalam kandungannya atau dipastikan hukuman tersebut akan mematikan bayi yang ada dalam kandungannya. Sehubungannya dengan hal ini, telah disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imran ibnu Hushain bahwa pernah ada seorang wanita yang hamil dari kalangan Bani Juhainah dating kepada Nabi SAW lalu ia berkata “Wahai Nabi Allah, sesungguhnya aku telah melakukan pelanggaran yang berkaitan dengan hokum had, maka sudilah kiranya engkau menegakkan hukuman itu terhadap diriku. Setelah mendengar pengakuan itu, nabi SAW memanggil wali si wanita tersebut lalu berpesan  kepadanya : Rawatlah dia dengan baik, bila telah melahirkan kandungannya, bawalah dia kepadaku kembali!”
Ia pun melakukannya. Sesudah itu Nabi SAW memerintahkan agar wanita tersebut diikat dengan kainnya, kemudian memerintahkan kepada mereka untuk merajamnya. Setelah selesai pelaksanaan hukuman had dan jenasahnya diurus Nabi SAW ikut menshalatkannya.” (HR. Muslim 3 / 1324)

No comments:

Post a Comment